Minggu, 28 September 2014

LUKA DIBALIK PELANGI

Cerpen karangan : Widia Lestari


Mentari perlahan naik ke timur. Menggantikan bulan yang kini terlihat samar. Langit yang merah diam-diam terganti dengan bitu yang cemerlang. Tak jarang burung-burung bertengger di pepohonan untuk menghirup udara segar di hari minggu ini. Namun, tak selamanya langit cemerlang. Di tengah ramainya orang berlari pagi terdengar suara gemuruh. Tak seperti pemandangan biasanya dalam keadaan matahari terus bersinar terang gerimis turun mengiringi. Aku mengurungkan niat lari pagiku bersama Kak Ardi.
Dari dalam rumah aku meraih tirai jendela dan menggesernya. Aku terdiam menatap butiran air hujan yang turun menyentuh tanah, melihat kekompakan butiran-butiran yang turun. Subhanallah, lirihku. Tak lama aku menutup tirai dan berjalan menuju kamar. Setengah berjalan aku enggan lagi melangkah. RETTT!! Hujan berhenti seketika dan sekilat itu. Aku segera meraih gagang pintu dan melihat ke luar rumah.
“Kak Ardi kemari!! Ada pemandangan yang indah di pagi ini” aku berteriak
“ada apa sih, de? Memang hujannya sudah berhenti?” ucap Kak Ardi sambil keluar dengan tergesa-gesa.
Kak Ardi mentapku lembut, dan penuh kesejukan.
“Nisa, itu namanya pelangi”
“Pelangi? Apa itu pelangi kak?” tanyaku polos
“Pelangi itu kenampakan alam yang paling indah, sayang. Suatu saat nanti juga kamu akan mengerti.” Sambung ibu yang dating tiba-tiba
“Kok aku jarang melihatnya ya, bu?” tanyaku lagi
“Sayang, kan ibu sudah bilang suatu saat nanti kamu akan mengerti. Bahkan jika kamu menginginkan kamu bisa melihat pelangi setiap hari” terang ibu
“Oh ya?” mataku berbinar
Ibu hanya tersenyum kecil sambil mengelus rambutku. Kak Ardi mengangkatku ke atas dan memutarkan aku sampai aku merasa sedang terbang bebas ke angkasa.
9 tahun kemudian…
Umurku kini menginjak usia tiga belas tahun. Aku telah mengerti siapa pelangi, walau hanya sedikit. Ya menurutku pelangi itu, indah penuh pesona, dan menawan.
Saat aku sedang terbang jauh ke dunia khayal, ada bayangan mendekat, semakin dekat, dan seperti menyergap. GREP! Mataku ditutup oleh tangan mulus berbau khas. Kak Ardi, pikirku. Aku membukanya liar, kak Ardi berlari. Dengan penuh semangat aku mengejarnya. Tak lama dari itu aku merasa dadaku sesak, dan napasku tersendak.
“hosh… hosh.. Kakak, udah dong capek!” aku terengah-engah
Seketika itu Kak Aedi berhenti.
“Nisa? Kamu kenapa? Kamu pucat!” kak Ardi terkejut
“aku, hh…h…hh lelah kak”
Kak Ardi mendekatiku. Namun perlahan semuanya samar, menghilang sekejap. Mataku tertutup.
“ibuuuuu…” Spontan kak Ardi teriak
Tak lama aku mulai menangkap cahaya. Meski samar aku melihat kak Ardi dan ibu. Mataku terbuka, tubuhku masih lemas, ubun-ubunku masih nyut-nyutan, tanganku tak berdaya, dan napasku kembali tersendak.
“ibu? Kak Ardi? Kenapa menangis?” lirihku
“ade yang tabah ya, sayang” isak kak Ardi
“kenapa?” butiran air mataku mulai merembes di pipi
“sayang, kamu terkena.. terkena.. pe.. penyakit..ka… hiks hiks” ibu tak sanggup melanjutkan
“kenapa ibu? Kenapa?” aku semakin tersedu
“kanker darah. Kamu terkena gejalanya. Jenis leukemia limfositik” tangis ibu semaikin hambur
Kabar itu menyambar kepalaku bagai Guntur yang menghentakkan lapisan bumi sampai ke akarnya. Begitu dahsyat. Kabar ini terlalu cepat untukku. Melebihi cepatnya banjir yang menerjang perumahan di sudut kota. Kabar ini membuatku hancur. Melebihi hancurnya Negara yang dilanda puting beliung. Kabar ini membuatku rapuh. Semangat hidupku kendur, aku tak yakin bisa menapaki jejak kehidupan lebih lama lagi. Aku mengenal nama itu. Nama leukemia. Peluang untuk hidupnya sangatlah kecil. Kabar ini membuatku terpukul. Melebihi pukulan seorang petinju menghantam lawannya. Perih begitu perih, sungguh malang nasibku. Aku harus rela tubuhku digerogoti penyakit ganas itu, penyakit yang aku benci seumur hidup.
“sayang, kamu masih bisa sembuh. Dengan cemothrapy dan pemberian obat rutin. Kamu bisa sembuh sayang, ini baru gejala” terang ibu
Aku hanya kembali terisak. Meratapi aliran hidup yang terus melaju ke tengah lautan. Aku tak bisa berkata, kak Ardi pun sama. Di ruangan ini hanya isak memecah segalanya.
Satu bulan berlalu. Cemothrapy dan pemberian obat telah dokter rutinkan. Namun penyakit yang menggerogoti tubuhku tak kunjung hilang. Malah kelenjar lymapku tak berfungsi lagi. Ya, di bawah leherku terjadi pembengkakan. Berat badanku turun tiga kilo setiap tiga harinya. Bayangkan! Betapa kurusnya aku. Hanya tersisa tulang yang cukup pucat. Aku masih terbaring di rumah sakit.
Aku semakin terpukul, ingin rasanya aku menyudahi kenyataan yang begitu memahitkan. Semua tersa sudah tak berguna lagi. Membuang-buang biaya bila pada akhirnya aku harus kalah oleh penyakit itu. Aku memukuli kasur dan meronta. Kak Ardi yang berada di sampingku terbangun.
“Nisa, dengerin kakak. Kamu gak boleh kayak gitu, kamu gak boleh nyalahin takdir. Kamu harus sabar Nisa” kak Ardi memegang tanganku
“Aku gak nyalahin takdir kak, tapi aku menagisinya. Kenapa kayak gini sih kak? Apa salah Nisa kak, kenapa Nisa kayak gini?”
Kak Ardi memlukku erat. Tak lama dari itu CKLEK! Terdengar suara dorongan pintu. Aku menoleh mendapatku ibu dan temanku. Ya itu Noura dan Falsetya.
“Nisa, aku selalu berada di barisan semangatmu. Bersabarlah terus Nis..” ucap Noura bergetar
“Iya Nis, kamu sembuh pasti. Sembuh. Kita janji kalau kamu sembuh, akan kembali melihat pelangi bersama” lanjut Falsetya
Aku hanya mengangguk perlahan dan tersenyum sebisanya. Aku tak kuasa menahan tangisku. Hambur semuanya bersama perihnya kenyataan.
“sayang, hari ini kamu pulang ke rumah. Kita perawatannya di rumah saja” sambung ibu
“iya bu. Lagian aku udah gak betah.”
Ibu menatap aku. Tangannya yang halus dan sentuhannya yang lembut memegang keningku. Ibu menciumku penuh cinta.
Matahari tepat berada di atas kepala. Langit cerah pucat. Semilir angin menyibak gorden kamarku. Sangat perlahan awan hitam bergerak menggantikan awan putih. Suara bergemuruh telah terdengar seantero dari langit. Kutatap lekat-lekat wajah siang hari ini. Mendung, namun matahari mengiringi.
Gerimis turun pelahan. Perlahan butiran airnya jatuh hingga suara rinciknya terdengar semakin keras. Tampaknya, hujan semakin deras. Alirannya semakin terjal. Aku berharap aliran-aliran ini menyapu rasa gundahku, menghapus segala jejak kepedihanku. Namun kutahu, air hanyalah air. Tak mungkin berubah menjadi mukjizat atas penyakitku.
Hari ini Noura dan Falsetya berada di rumahku. Bukan hanya hari ini, tapi setiap hari.
“Batal dong kita ke kebunnya nis,” olok Noura agar aku membatalkan pergi
“jadi. setelah hujan reda” lirihku
Matahari terus berduel dengan hujan. Dan tampaknya hujan harus kalah dengan matahari. Pelan-pelan butiran airnya yang turun semaik pelan, hingga tak ada. Hujan reda. Mataku langsung berbinar-binar. Dengan keadaan sangat lemah kupaksakan bangun, namun Kak Ardi yang berada di sampingku mencegahnya.
“kamu masih lemah, gak boleh ke mana-mana. Gak boleh pergi” ucap kak Ardi tegas.
“kak.. kakak sayang gak sama Nisa?”
“sayang banget nisa… sayang”
“makanya kak, please! Sekali ini saja. Sekali saju aku menikmati indahnya dunia luar. Hanya hari ini saja kak, aku janji. Hanya kali ini saja. Aku yakin hari ini ada pelangi. Aku ingin melihatnya kak”
“Nisa. Tapi benar apa yang dikatakan kak Ardi. Di luar takut tiba-tiba hujan” sambung Falsetya membela
Namun hati kak Ardi keburu luluh. Air matanya meleleh di pipi. kak Ardi cepat mengambil kursi roda, dan membopongku menaikinya. Tergerak kursi roda itu keluar.
Saat itu juga, jendela dunia terbuka lagi. Ingin rasanya aku kembali berlari, berjingkrak mengiringi hembusan angin yang segar seperti dulu. Tak lama, tiba-tiba napasku sesak, Noura menyadari keadaanku.
“Nisa? Astagfirullah kenapa?” tanyanya panik
Mamun aku coba menetralisir keadaan. Hingga mereka benar-benar takpercaya aku tidak kenapa-napa.
“Nisa, pelanginya indah ya?” gumam kak Ardi
Aku mengangguk kecil.
“kak Ardi, Noura, ataupun Falsetya. Waktu kemarin aku bermimpi. Entah mengapa aku merasa bahagia sekali karena aku sudah berada di ujung perjalananku. Ya, aku berlayar dimulai dari tepi pantai, ke tengah, hingga aku sudah sampai di ujung pantai. Tapi aku sedih kak, karena kakak, noura, falsetya, dan ibu tak ingin ikut denganku. Aku sangat sedih, karena merasa kesepian. Nah, kira-kira apa ya maksud dari mimpi itu?” aku bicara ngelantur
Kak Ardi yang mendengarnya terkejut. Bibirnya bergetar.
“Nisa sayang, ke mana pun kamu pergi, ke ujung dunia, atau ke dasar lautan pun akan kakak sanggupi untuk ikut dengan Nisa. Mungkin mimpi Nisa tak mengandung makna yang dalam”
“iya nis, aku juga” jawab Falsetya dan Noura hampir berbarengan.
Sesaat itu juga kak ardi memelukku sangat erat. Air mataku kini merembes di pipi. Aku rasa ini ujung hariku, hari terakhirku melihat pelangi. Semuanya kurasa sudah cukup. Mataku yang bening menatap ke arah Noura dan Falsetya. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi. Aku hanya menangkap kilatan cahaya putih, gelap. Dan tertutup untuk selama-lamanya. Nyawaku telah sirna. Pelangi menjadi saksi atas kepergianku. Kak Ardi menyadari napasku tak berhembus lagi. Kak Ardi perlahan melepaskan pelukannya.
“innalillahi wa inna ilaihi roojiun. Nisaaaaaaa”
Kini aku sudah berada di dunia yang berbeda. Dunia ini sangat beda dengan dunia sebelumnya. Mungkin inilah doaku yang terjawab oleh Rabbku. Aku diperintahkan untuk pergi duluan dan menanti semuanya si Surga yang indah

Unsur Intrinsik

1.      Tema : Penyakit ganas yang menimpa seorang gadis

2.      Alur/plot : alur yang terdapat dalam cerita ini adalah alur maju.
Tahap perkenalan : Tokoh Nisa melihat pelangi 9 tahun yang lalu dan tak tahu apa itu pelangi yang sesungguhnya
Tahap konflik : Tokoh Nisa mengetahui bahwa ia menderita penyakit ganas yaitu leokimia limfositik
Tahap penyelesaian : Tokoh Nisa meninggal dunia dengan tenang dan bahagia

3.      Karakter/penokohan :
Ka Ardi : Tokoh Protagonis, 
                  Watak :Baik hati,penyabar
Nisa        : Tokoh protagonist,
                  Watak :baik hati,penyabar,tidak mudah menyerah,ceria
Naura     : Tokoh protagonist,
                  Watak:  baik hati,periang
Falsetya : Tokoh protagonist,
                  Watak : baik hati
Ibu          : Tokoh protagonist,
                  Watak :baik hati,penyabar

4. Setting      : a. Waktu : Pagi hari dan sore hari
b. Tempat : Tempat yang ada di dalam cerita ini adalah di rumah dan di rumah sakit
c. Suasana : Suasana di dalam cerita ini adalah haru dan sedih

5.    Amanat : Tetap tabahlah dalam menghadapi semua cobaan yang ada dalam hidup seberat apapun                       cobaan itu.


6. Sudut Pandang : Sudut pandang dalam cerita ini adalah orang pertama pelaku utama

7. Gaya bahasa : Gaya bahasa yang digunakan penulis mudah dimengerti oleh pembaca

Ekstrinsik

1.               Nilai moral : Nilai moral di dalam cerita ini adalah tetap tabah dalam menghadapi cobaan seberat apa pun beban yang kita tanggung .

2.                Nilai agama : Nilai agama di dalam cerita ini adalah agama islam,ini dikarenakan perilaku dan ucapan tokoh mencerminkan agama tersebut

3.              Nilai sosial  : Nilai sosial di dalam cerita dapat dilihat dari percakapan antara tokoh Nisa,Naura,Falestya dan Ka Ardi yang mendukung Nisa untuk melawan penyakitnya.  

4.         Kondisi psikologis  : Kondisi psikologis di dalam karangan cenderung haru dan sedih. Ini dapat terlihat dari kondisi suasana di dalam cerita

Inneke Aulia
XII IPA 4



Tidak ada komentar:

Posting Komentar